CARA PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN PGPR (Plant Growth Promoting Rizhobacteria)
Apa
itu PGPR?
PGPR dalam terminologi bahasa Indonesia
merupakan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman.Seperti yang kita
ketahui, banyak sekali jenis bakteri yang bersimbiosis dengan perakaran
tanaman, dan memberikan efek positif bagi pertumbuhan tanaman. Contoh umum yang
bisa kita amati adalah bintil akar pada tanaman legum yang merupakan bentuk
simbiosis bakteri penambat Nitrogen pada perakaran tanaman.
1) mendorong pertumbuhan tanaman (bertindak
sebagai fitohormon),
2) menekan perkembangan penyakit
(bioprotectant / biokontrol),
3) meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi
tanaman
PGPR meningkatkan pertumbuhan tanaman secara
langsung dan tidak langsung. Dari berbagai kajian, perlakuan PGPR pada tanaman
akan memberikan pertumbuhan akar yang lebih sehat, panjang dan lebih banyak
dibandingkan tanpa PGPR. Perakaran yang sehat dan lebih panjang menyebabkan
penyerapan unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman akan semakin
banyak, sehingga pertumbuhan tanaman juga lebih bagus. Di samping itu,
perakaran yang dikoloni oleh bakteri PGPR umumnya lebih tahan terhadap infeksi
patogen tanaman. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan bakteri PGPR untuk
menghasilkan siderofor dan antibiotik untuk mencegah perkembangan patogen
tanaman. Berbagai literatur menyebutkan bahwa kandungan bakteri PGPR utamanya
adalah dari kelompok Pseudomonas sp.
Cara
Sederhana Mendapatkan PGPR dari Alam
Bakteri PGPR dapat diperoleh dengan
mengisolasi bakteri perakaran pada tanaman inang. Namun demikian, untuk proses
di tingkat lapang/petani, proses yang dilakukan tidaklah serumit yang harus
dilakukan di laboratorium agens hayati. Untuk metode di lapang, cukup dengan
mengambil perakaran dan sedikit tanah di sekitar perakaran tanaman. Secara
umum, kategori tanaman yang ditengarai mempunyai kandungan bakteri PGPR adalah
tanaman yang menunjukkan keragaan paling bagus, paling sehat, pada perlakuan
yang sama di lapangan.
Namun demikian, ada beberapa jenis tanaman inang PGPR yang dapat digunakan sebagai sumber PGPR, yaitu bambu, putri malu, alang-alang, rumput gajah, sereh dan rumput teki. Hampir semua jenis tanaman tersebut hidup dengan baik di alam tanpa pemupukan, dan tahan terhadap iklim yang ekstrim. Namun demikian, bahan yang paling banyak digunakan adalah perakaran bambu.
Metode:
1. Ambil
satu genggam perakaran bambu, kemudian potong kecil-kecil dengan ukuran 1 cm.
2. Masukkan
ke dalam botol bersih berisi air steril sebanyak 1 liter. Lebih baik gunakan
air sumur yang telah matang. Air sumur relatif tidak mengandung kaporit maupun
cemaran bahan kimia.
3. Gojog
secara mendatar selama 10 menit, dengan maksud agar bakteri yang berada di
sekitar perakaran maupun di dalam perakaran dapat tercampur pada air.
4. Diamkan
selama 2-3 hari. Adanya aktivitas bakteri nampak berupa gelembung udara yang
menempel pada dinding botol.
5. Larutan
campuran ini dapat disebut sebagai biang/starter PGPR.
Untuk mengetahui apakah biang PGPR yang
dibuat merupakan bakteri yang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman,
dan justru tidak merugikan, maka dapat dilakukan test sederhana dengan cara
menyiramkan larutan biang PGPR pada tanaman pot yang sehat. Setelah 3 (tiga)
hari, diamati apakah ada pengaruh merugikan yang terjadi pada tanaman uji,
seperti layu, atau menguning. Apabila tampak gejala tersebut, dimungkinkan
bakteri yang berkembang bukanlah bakteri yang menguntungkan, sehingga tidak
disarankan untuk dikembangkan. Namun apabila tanaman tidak menunjukkan gejala
sakit, atau gangguan pertumbuhan, maka besar kemungkinan PGPR yang dibuat
mengandung bakteri yang dapat berfungsi sebagai PGPR.
Perbanyakan
PGPR
Meskipun biang / starter PGPR dapat langsung
digunakan untuk aplikasi di lapangan, agar produksi PGPR tidak terlalu banyak
menyita bahan baku berupa perakaran tanaman inag, maka perlu dilakukan
perbanyakan, dengan menggunakan media pengembangan. Bahan umum yang diperlukan
pada perbanyakan PGPR adalah:
1.
Air sumur 10 liter
2.
Terasi 300 gram
3.
Gula pasir / gula jawa / molase 300 gram
4.
Injet 1 sendok teh
5.
Bekatul (opsional) 300 gram
6.
Biang PGPR 100 ml
Metode:
1.
Rebus 10 liter air sumur, tambahkan semua bahan kecuali biang PGPR, kemudian
tutup rapat dan tunggu hingga mendidih.
2.
Setelah mendidih, matikan api dan dinginkan. Setelah dingin, saring dengan kain
kasa dan masukkan ke dalam galon / jrigen steril.
3.
Setelah benar-benar dingin, masukkan biang PGPR kemudian tutup galon/jrigen.
Apabila memungkinkan, pasang alat fermentor sederhana sebagai aerasi bagi bakteri dalam
biakan. Namun apabila tidak mempunyai fermentor, maka biakan dapat diaduk
selama ± 10 menit setiap hari. Pengaduk harus dalam keadaan steril.
4.
Setelah 10 (sepuluh) hari, PGPR siap digunakan.
Hasil
biakan dikatakan baik apabila berbau asam segar akibat hasil fermentasi
bakteri, tidak berbau busuk, tidak terlihat ada organisme lain seperti misalnya
belatung. Namun apabila bau PGPR hasil biakan tersebut busuk, maka dapat
dikatakan biakan tersebut mengalami kontaminasi, sehingga tidak layak untuk
digunakan sebagai PGPR. Untuk meyakinkan, dapat dilakukan uji sederhana dengan
menggunakan tanaman pot seperti halnya pada pembuatan biang/starter.
Pemanfaatan
PGPR
Penggunaan
PGPR disarankan sejak awal pertumbuhan tanaman. Bahkan dapat juga dilakukan
pada media tanam, dengan tujuan untuk mendapatkan media tanam yang lebih sehat.
Ini utamanya digunakan pada media pembibitan.
1. Perlakuan benih
Pada
benih padi, dapat dilakukan dengan melarutkan 5 cc PGPR / liter air, digunakan
untuk merendam benih padi yang sudah direndam air terlebih dahulu (biasanya 1
malam), sehingga sudah terlihat calon akar yang muncul. Perendaman dengan PGPR
cukup dilakukan selama 15-20 menit.
2. Solarisasi tanah
/ aplikasi pada tanah dan pupuk kandang
3. Pengocoran
tanaman di lapangan
Caranya
dengan melarutkan 10 cc PGPR/liter air, dan dikocorkan pada tanaman sebanyak 1
gelas untuk setiap tanaman. Perlakuan dapat diberikan pada saat tanam dan 2
minggu setelah tanam.
Beberapa hasil uji yang dilakukan pada berbagai jenis
tanaman menunjukkan keragaan tanaman yang lebih jagur, lebih sehat dan
perakaran yang lebih panjang dan lebat pada penggunaan PGPR, dibandingkan
dengan tanaman yang tidak menggunakan PGPR.
Pemasyarakatan penggunaan PGPR kepada petani
maupun pelaku budidaya sebetulnya telah banyak dilakukan, terutama pada
pelaksanaan SLPHT sebagai salah satu komponen pengendalian hama penyakit
tanaman secara PHT. Namun demikian, penggunaan secara masif belum begitu
nampak, meskipun dari hasil yang dicobakan, penggunaan PGPR memberikan pengaruh
cukup baik terutama terhadap kualitas hasil tanaman, maupun kuantitas hasil
tanaman. Hal ini disebabkan karena banyak faktor, diantaranya budaya “instan”
di kalangan petani kita. Dalam arti, masyarakat lebih menyukai penggunaan bahan
sintetis yang lebih cepat bereaksi dibanding dengan penggunaan bahan alami. Di
samping itu cara mendapatkan bahan sintetis tersebut relatif lebih mudah dibanding
dengan mengupayakan sendiri bahan dari sekitar, yang memerlukan proses tertentu
sebelum dapat diaplikasikan.
Di sisi lain, perlu dipahami bahwa penggunaan
bahan alami terutama yang berwujud agens hayati, pada prinsipnya adalah
memanfaatkan organisme hidup, sehingga memerlukan waktu untuk beradaptasi dan
berkembang, sebelum aktivitasnya cukup optimal untuk mempengaruhi hama/penyakit
. Dengan demikian reaksi yang didapatkan tidak secepat penggunaan bahan
sintetis.
Komentar
Posting Komentar